Rumah panggung kayu yang ditempati Rahmawati (37) dan Misransyah (36) sejak tahun 80-an tampak sepi siang itu. Di depan rumah, terdapat warung kecil tempat ibu Rahma berjualan nasi campur dan gorengan.
Itulah rumah orang tua Muhammad Raihan Saputra (10), anak yang tenggelam di bekas lubang tambang batubara yang tidak ditutup oleh perusahaan tambang batubara PT Graha Benua Etam (GBE). Akhir pekan kemarin, Alissa Wahid, Koordinator Gusdurian, berkunjung ke sana dalam rangkaian lawatannya ke Samarinda dalam rangka berbagi pengetahuan di Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG), yang diselenggarakan Gusdurian Kaltim.
|
Gusdurian dan Lubang Tambang yang Memakan Korban (Sumber Gambar : Nu Online) |
Gusdurian dan Lubang Tambang yang Memakan Korban
Memasuki rumah ibu Rahma, tampak di dinding rumah kayu tergantung figuran foto Ibu Rahma sekeluarga. Di sana juga tergantung foto Raihan bersama saudara lainnya. Ibu Rahma dan Bapak Misran mempunyai 4 anak. Raihan adalah anak ke -2 dari 4 saudara.
Sang Pencerah Muslim
Sebagai seorang ibu yang juga memiliki anak, Alissa ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh ibu Raihan. Putri pertama Gus Dur ini juga menceritakan bagaimana Gusdurian bersikap soal kasus Raihan. "Kawan-kawan Gusdurian selama ini memegang teguh soal nilai kemanusian dan keadilan. Dimana pun dan atas nama apapun, penindasan itu tidak dibenarkan," ungkapnya dalam perjalanan menuju rumah Raihan,
Mata Ibu Rahma tampak berkaca-kaca ketika menyambut kedatangan Alissa Wahid di depan pintu rumahnya pada Sabtu (21/2) siang itu. Waktu itu Ibu Rahma ditemani keluarga dekatnya. Suami Ibu Rahma sedang tidak ada dirumah, ia bekerja di sebuah toko penjualan alat-alat kapal di Jalan Lambung Mangkurat. Dia tidak menyangka akan kedatangan putri sulung Gus Dur.
Sang Pencerah Muslim
Ibu Rahma menceritakan kegelisahanya kepada Alissa. "Waktu itu siang hari, ada teman Raihan yang datang kerumahnya membawa kabar dengan tergopoh-gopoh," cerita Ibu Rahma. Raihan, anaknya tercebur di Sungai Saliki. Raihan setahu dia tidak bisa berenang. Ibu Rahma panik mendengar kabar itu. Ia juga tidak tahu dimana Sungai Saliki itu berada. Ibu Rahma selama tinggal di sempaja tidak pernah keluar terlalu jauh. Ia berteriak histeris hingga di jalanan depan rumahnya meminta orang untuk membawa dia melihat anaknya. Ia seperti orang yang kehilangan kendali.
"Waktu itu ayah Raihan tidak ada di rumah," ujarnya. Seperti biasa Ayah Raihan berangkat kerja pagi dan pulang pada sore hari. Mendengar anaknya tenggelam, Ayah Raihan bergegas pulang dan langsung menuju lokasi dimana anaknya tenggelam. Ia ikut menyelam hingga dua kali, namun Raihan belum juga ditemukan. Lalu datanglah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan tim Search and Rescue Kota Samarinda (SAR), setelah ditelepon oleh warga. Sore sekitar pukul 17.30 wita, jasad Raihan baru ditemukan di kedalaman 8 Meter.
"Saya tidak pernah merasakan sakit yang begitu dalam Bu, tapi kehilangan anak itu sungguh membuat hati saya hancur," ucap ibu Rahma kepada Alissa Wahid.
Muhammad Raihan Saputra yang akrab dipanggil Raihan oleh teman-temannya, bersekolah di SDN 009 Pinang Seribu, Sempaja, Samarinda Utara. Biasanya dia berangkat sekolah diantar kakeknya bersama adik dan sepupunya. Raihan suka bermain bola, dia mudah bergaul dan dikenal sangat supel oleh teman-teman. Sehari-hari Raihan tak pernah bermain jauh dari rumahnya. Terkadang Raihan memancing ikan haruan (gabus) dari teras rumahnya, di sekeliling rumahnya masih berupa rawa dangkal.
Ibu Rahma baru tahu kalau di belakang rumah warga di Gang Saliki itu ada lubang bekas tambang batubara yang besar dan dalam, yang jaraknya hanya 50 meter dari perumahan. Alissa Wahid menambahkan, "Pasti ada aturan yang dilanggar dalam kasus tenggelamnya Raihan. Soal Amdal dan izin yang didapat perusahaan. Jarak 50 meter itu sudah melanggar peraturan. Anak dalam pendidikan tidak pernah salah bermain di mana saja. Kasus Raihan, jelas perusahaan yang salah karena meninggalkan lubang."
Ancaman Lubang-lubang Bekas TambangKota Samarinda dengan luas 71.800 Ha, sekitar 71 persen kawasannya dikapling-kapling oleh perusahaan tambang barubara. Perusahaan batubara PT GBE, merupakan salah satunya. PT GBE memperoleh ijin dengan nomor SK IUP: 545/267/HK-KS/V/2011 dan beroperasi dengan luasan 493,7 hektar sejak 18 Mei 2011 dan ijinnya akan berakhir 9 November 2015. PT GBE adalah perusahaan yang juga diduga terlibat dalam kasus Gratifikasi kepada Kepala Dinas Pertambangan Samarinda. PT GBE juga sering disebut dalam evaluasi bulanan tambang yang pernah digelar oleh pemkot tahun 2012-2013 sebangai perusahaan paling tidak taat, bahkan pernah dihentikan sementara.
Selain lubang bekas tambang yang sangat dekat dengan pemukiman dan diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha dan Kegiatan Penambangan terbuka batubara yaitu jarak 500 meter tepi lubang galian dengan pemukiman, perusaahan ini juga melanggar pasal 19–21 Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan tambang pada lahan terganggu wajib direklamasi.
Lubang tambang yang ditinggalkan oleh PT GBE itu pernah dicoba diukur oleh warga dengan cara dilempar dengan tali sepanjang 30 meter, tapi dengan tali sepanjang itu belum menyentuh dasarnya. Air yang ada di lubang bekas tambang yang diduga dengan kedalaman 40 meter itu juga digunakan warga sekitarnya untuk MCK. Terlihat banyak pipa air yang dipasang, dan mengarah ke dalam lubang bekas tambang PT GBE. Setelah kejadian kematian Raihan, PT GBE baru membatasi tepi lubang dengan pagar seng.
Alissa Wahid bercerita ke Ibu Rahma, bahwa kejahatan lingkungan yang terjadi di Samarinda juga dialami ibu-ibu di Rembang. Mereka menginap ditenda untuk menolak Pendirian PT. Semen Indonesia. Ibu-ibu di Rembang berjuang untuk mempertahankan agar Pegunungan Kendeng tidak ditambang, karena akan ada yang hilang dan itu merugikan orang paling bawah, masyarakat seperti petani. Ini adalah bentuk kecil dari korupsi yang ada di Indonesia. Dampaknya selalu masyarakat di lapisan paling bawah yang merasakan korupsi di sektor sumber daya alam.
Ibu Rahma Perjuangkan KeadilanIbu Rahma sempat mendatangi kantor perusahaan PT GBE seorang diri untuk menuntut keadilan bagi anaknya yang meninggal di lubang bekas tambang. Ketika datang, ia harus dibuat menunggu hingga setengah jam, sebelum akhirnya seorang staf perusahaan menerima kedatangan Ibu Rahma dengan nada sinis. Staf PT GBE mengatakan pada ibu Rahma bahwa kejadian meninggalnya Raihan adalah musibah dan sudah diselesaikan pihak perusahaan. Staf PT GBE itu juga meminta ibu Rahma untuk pulang dan menghubungi mereka lagi menjelang 100 hari meninggalnya Raihan pada awal April nanti. Mendengarnya, ibu Rahma sangat sedih. "Saya datang kesana untuk menuntut keadilan untuk Raihan, bukan untuk meminta uang ke perusahaan."
Perjuangan ini tidak akan pernah surut, ibu Rahma merasa tidak sendiri dia dibantu kawan-kawan Gusdurian Kaltim dan Jatam Kaltim untuk mencari keadilan bagi anaknya. "Cukup Raihan yang terakhir menjadi korban di lubang maut itu" tutur ibu Rahma. Ibu Rahma melanjutkan, "Saya juga tidak boleh larut dalam kesedihan ini, saya harus bangkit karena saya masih harus terus melajutkan hidup dengan 3 anak saya yang lainnya."
Ibu Rahma melakukan beberapa cara untuk mencari keadilan, dari surat terbuka yang dilayangkan kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup sampai ke Petisi yang sudah ditandatangani hampir 10 ribu orang di www.change.org/lubangtambang. Dan Ibu Rahma ingin sekali bertemu langsung dengan Menteri terkait untuk menyampaikan kasus Raihan, putra kesayangannya yang meninggal di lubang bekas tambang di Kota Samarinda.
Erma Wulandari, Jaringan Gusdurian KaltimDari Nu Online:
nu.or.idSang Pencerah Muslim Nasional, Internasional, Daerah Sang Pencerah Muslim