Tampilkan postingan dengan label PonPes. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PonPes. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Januari 2018

Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren

Oleh Aswab Mahasin

Coba Anda ingat, Kapan terakhir kali Anda mencium tangan Kiai? Kapan terkahir kali Anda menginjakkan kaki di Pesantren? Dan kapan terkahir kali Anda merasa bahwa diri Anda adalah santri? Kiai, Pesantren, dan Santri adalah tiga dimensi yang tidak bisa dipisahkan. Pesantren sebagai rumah peradaban, sedangkan kiai dan santri adalah pengusung peradaban. Hal tersebutmerupakan satu kesatuan yang tunggal (kepaduan yang ideal).

Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren (Sumber Gambar : Nu Online)
Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren (Sumber Gambar : Nu Online)

Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren

“Kemanunggalan” ketiga pranata kebudayaan/agama tersebut mempunyai unsur geneologis, yakni; kiai sebelumnya adalah santri, dan santri ialah orang yang tinggal dan menetap di pesantren. Begitupun kiai, mempunyai santri dan pesantren, dan samahalnya dengan santri, tinggal di pesantren dan diasuh oleh Kiai.

Namun, dalam realitasnya ada kiai tanpa pesantren, disebut “kiai langgar atau kiai masjid” dan ada santri yang tidak mesantren, disebut “santri kalong”. Apakah proses “kemanunggalan” itu masih terjadi? Jawabannya, masih—karena yang diajarkan oleh kiai langgar/masjid adalah pengajaran yang diajarkan di pesantren, tidak ada keterpisahan dari mulai model mengajar, bahan ajar, dan tradisi komunikasi. 

Jika diperluas lagi, maksud dari “kemanunggalan kiai, santri, dan pesantren” adalah seseorang yang selalu memegang prinsip kemandirian, kemanusiaan, kebersamaan, kesatuan, etos kerja, nasionalisme, dan keIslaman. Dengan itu, adanya kesatuan yang menginternal kedalam dirinya, ia mengikuti nasihat kiai dan ia berprilaku seperti santri. Nilai-nilai itulah yang selalu diajarkan oleh kiai, selalu diterima oleh santri, dan selalu hadir dalam lingkungan pesantren.

Sang Pencerah Muslim

Sekarang coba kita lihat bagaimana para ahli menguraikan makna dari kiai, santri, dan pesantren, Secara etimologis, menurut Ahmad Adaby Darban “kiai” berasal dari bahasa jawa kuno “kiya-kiya”, artinya orang yang dihormati. Sedangkan, Menurut Manfred Ziemek,kiai adalah pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagai “muslim terpelajar” telah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Dalam pemikiran masyarakat, kiai diidentikan dengan ulama sebagai pewaris para Nabi (al-‘ulama waratsah al-anbiya). (Moch. Eksan, Kiai Kelana: Biografi Kiai Muchit Muzadi, 2000.Hlm. 2-4)

Santri menurut Nurcholis Madjid ada dua pengertian, pertama, berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu “sastri” berarti orang yang melek huruf, dan kedua, berasal dari bahasa jawa “cantrik” seorang yang mengikuti kiai dimanapun untuk menguasai suatu keahlian sendiri. Berbeda dengan KH. Sahal Mahfudh, santri dimaknai sebagai bahasa Arab, dari kata santaro yang mempunyai jamak (plural) sanaatiir (beberapa santri). Dibalik kata santri tersebut mempunyai 4 huruf arab (sin, nun, ta’, ra’), oleh KH Abdullah Dimyathy dari Pandeglang, Banten mengimplementasikan kata santri dari 4 fungsi manusia. Adapun 4 huruf tersebut, yaitu; Pertama, “Sin” yang artinya “satrul al-aurah” (menutup aurat), Kedua, “Nun” yang berarti “na’ibul ulama” (wakil dari ulama), ketiga, “Ta” yang artinya “tarku al-Ma’shi” (meninggalkan kemaksiatan), dan keempat, “Ra” yang berarti “raisul ummah” (pemimpin umat). (Buku Kumpulan Tanya Jawab dan Diskusi Keagamaan: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, PISS-KTB, 2013. Hlm. 1626-1628)

Sedangkan Pesantren, menurut pengertian dasar ialah tempat belajar para santri. Sedangkan “pondok” berasal dari bahasa arab “funduq” yang artinya asrama. Secara etimologi pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri. (Zamakhsyari Dhofir: 1982: 18)

Dari berbagai paparan tersebut, menggambarkan, kuatnya keterikatan antara Kiai, Santri, dan Pesantren.Pesantren didirikan kiai sebagai transmisi nilai-nilai keIslaman. Dalam perkembangannya,proses transmisi keIslaman di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran kemanunggalan itu.

Pesantren dan transmisi nilai keislaman Indonesia

Sang Pencerah Muslim

Menjadi penting terlebih dulu mengetahui keterikatan sejarah antara kajian Islam di Indonesia dengan ulama Timur Tengah, seperti Mekah, Madinah, dan Kairo. Martin van Bruinessen menuliskan, “Teks yang paling populer diseluruh Nusantara adalah karya yang dikenal sebagai Barzanji di tulis oleh Sayyid Ja’far Al-Barzanji. Dinamakan “barzanji” karena merujuk pada nama desa pengarangnya yang terletak di Barzanjiyah kawasan Akrad (kurdistan). Selain itu teks-teks arab yang paling banyak dijual di toko buku adalah Tanwirul al-Qulub, ditulis oleh Muhammad Amin Al-Kurdi.”

Hal tersebut menggambarkan ada proses transmisi epistimologi. Proses itu sebenarnya tidak hanya melalui produk intelektualitas, melainkan banyak juga ulama-ulama Nusantara pergi ke sana untuk menuntut ilmu, seperti ‘Abd al-Rauf Singkel menghabiskan tidak kurang dari 19 tahun waktunya di Makkah dan Madinah, ada juga Syekh Yusuf Makasar, begitupun dengan KH Muhammad Hasyim Asy’ari. 

Walaupun Indonesia memiliki kedekatakan hubungan intelektual dengan tradisi keagamaan di Arab, terutama Mekkah dan Madinah. Tidak serta-merta Islam di Indonesia lantas dianggap sebagai replika Islam Arab. Proses masuknya Islam di Indonesia sangat dinamis, unik, dan kompleks, menyesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya yang berkembang saat itu. 

Peristiwa tersebut menjadi sejarah tidak mandek, khususnya di pesantren—hingga sekarang terusmengkaji karya-karya ulama Timur Tengah, kajian yang diusung tentu tidak berafiliasi dengan kitab-kitab yang telah direduksi atau ditambahkan isinya olehkelompok tertentu, melainkan kitab-kitab yang tidak bertentangan dengan ide-ide ahlussunnah wal jamaah (Aswaja).

Dengan demikian, karakter Islam di Indonesia yang berkembang sekarang, tidak lepas dari matriks kiai, santri dan pesantren, sebagai penerjemah dan wadah wacana keIslaman. Proses transmisi keIslaman ini berlangsung di pesantren yang tampil dengan model paradigma pengajaran yang unik. Melalui kajian kitab kuning, didukung dengan model penulisan “arab jawa pegon” sebagai sarana untuk memahami teks-teks kitab kuning yang berbahasa Arab. Hal ini tidak ditemukan dalam tradisi Islam di Timur Tengah. Tradisi keIslaman di Indonesia berkembang melalui karakternya sendiri dengan tidak meninggalkan identitas Islam yang terlahir dengan “huruf Arab”.

Selain itu, disemua pesantren yang berbasis klasik ataupun modern, selalu ada pengajaran Nahwu dan Shorof (untuk memahami teks Arab). Dan pesantren menganggap belajar kaidah-kadaiah bahasa Arab tersebut sebagai alat untuk memahami teks-teks Arab, dengan tujuan agar para santri mampu mempelajari wacana keIslaman yang begitu luas.

Seiring dengan proses transformasi dan modernisasi di pesantren, dari mulai masa kolonial, sampai terlahirnya Madrasah Diniah, dan kemudian masuk dalam dunia global. Pada gilirannya pesantren tetap menjadi standar wajah keIslaman Indonesia, karena pesantren turut membentuk tradisi kajian Islam di Indonesia secara keseluruhan.

 

Pembentukan tersebut oleh pesantren melalui jalur pendidikan, yang terus menerus dilakukan pesantren, dari dulu sebelum nama Indonesia ada sampai sekarang. Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a: Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial berkomentar, “pendidikan pesantren adalah pendidikan seumur hidup, seumur dengan kehidupan tradisi keagamaan Aswaja dan juga sepanjang usia kehidupan nusa-bangsa ini. 

Oleh karena itu, orientasinya adalah untuk menjaga keselamatan dan kesinambungan kehidupan berbangsa itu sendiri. Dengan kata lain, seberapa panjang usia kehidupan kebagsaan ini, demikian pula usia tradisi keulamaan Aswaja. Dan pendidikan pesantren adalah bentangan garis lurus yang menjangkau dan menghubungkan kedua sisi kehidupan tersebut hingga penghujung akhir hayatnya.”

Cuplikan dari Ahmad Baso tersebut menjelaskan bahwa kemanungggalan hakikatnya tidak hanya ada pada kiai, santri, dan pesantren saja, melainkan bangsa ini sudah menjadi satu kesatuan (termanunggalkan) bersama pendidikan pesantren dan tradisi pesantren itu sendiri.

Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari pesantren, dari masa ke masa dan dari presiden pertama sampai presiden sekarang, pesantren selalu mengiringi sejarah Indonesia. Entah itu dikebiri pada saat zaman Orba, di mana para kiai hanya mendapatkan jatah doa, dan pada masa Gus Dur, seorang kiai menjadi presiden, dan di era sekarang, pesantren, kiai dan santri menjadi “rebutan” aktivitas politik praktis, dengan tujuan mendapatkan legitimasi dukungan seorang kiai.

Pesantren dan kemanunggalan produktif

Beranjak dari itu semua, (saya akan meloncat ke dalam kajian yang lebih kompleks dan nyata)setelah tadi kita berlama-lamaan memetakan pesantren dan membincangkan pesantren sebagai transmisi nilai-nilai keIslaman Indonesia, sesunggugnya belum lengkap jika kita tidak mengkaji objek dari nilai keIsalaman itu sendiri, yaitu realitas yang menanti di depan mata para santi.

Dengan demikian, yang wajib kita kaji sekarang ini, poinnya adalah kemanunggalan terkesan belum sempurna pada pendidikan pesantren—di mana tidak sedikit pesantren menutup diri dari masyarakat dan menutup diri dari realitas kehidupan. Pesantren menurut Gus Dur awalnya bukan hanya lembaga pendidikan agama semata, tapi lembaga pendidikan yang bercakrawala dari berbagai penjuru pengetahuan, teoritis maupun praksis. Kesan sekarang adalah pesantren seakan-akan difungsikan sebagai pabrik “ulama”. Padahal pesantren spektrumnya lebih dari itu. Jika demikian, akan terjadi penyempitan dari fungsi pesantren itu sendiri. 

Menurut Gus Dur, terjadi penyempitan kriterium dengan sendirinya bergerak menuju lapangan bagi orang yang akan dikirim ke pesantren yaitu orang-orang yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Dengan mempertahankan kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan di mana tingkat droup-out cukup besar. (Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, 1999. hlm. 111-116). Kemanunggalan ini oleh lembaga pendidikan pesantren seharusnya dibarengi juga dengan produktifitas santri. 

Menurut Gus Dur dalam tulisannya yang bertajuk Pesantren, Penddikan Elitis atau Populis?, menuliskan, “Pesantren dulu sebagai pembanding dari sekolah keraton yang hanya menampung golongan elitis saja, sekarang nampaknya pesantren telah berubah, ketika berbicara pesantren kesan yang muncul adalah sebagai lembaga keagamaan. Dulunya, pesantren menampung semua lapisan masyarakat (kemanunggalan dengan semua orang) yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan keraton. Karena itu dimasa awalnya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama. Dalam perkembangannya, akhir-akhir ini tampak kecenderungan untuk menciptkan pesantren sebagai lembaga pencetakan para ulama.” (Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, 1999. Hlm. 111-116)

Saya sepakat, bukannya hal yang buruk, dalam pesantren membuat spesialisasi yang tidak hanya fokus pada bidang keagamaan. Fakta dilapangan harus kita akui, tidak semua santri ahli dalam ilmu agama, tidak semua santri jadi pendakwah, dan tidak semua santri jadi ulama. Kalau saja pesantren hanya menutut santrinya memiliki kecerdasan dan kepintaran dalam pengetahuan keagamaan, tidak ada bedanya pesantren dengan pendidikan umum lainnya, hanya mengedepankan sisi kognitif belaka, bedanya hanya dalam ranah kajian keagamaan semata.

Menurut Gus Dur, “sudah hebat sekali dari total 10.000 santri jika lulusannya 50% ahli agama.” Dalam realitasnya itu susah dilakukan, kalau kita lihat lebih jauh lagi alumni pesantren, tidak sedikit mereka yang kebingungan setelah keluar dari pesantren, tidak sedikit yang berprofesi serabutan, tidak sedikit yang berprofesi sebagai tukang ojek, dan sejenisnya. Kalaupun diantara alumni pesantrentersebut ada yang sukses menjadi pengusaha, pejabat, atau pun pemikir, jumlahnya lebih sedikit dari yang biasa-biasa saja itu. 

“Kemangunggalan” pesantren seharusnya dimaknai sebagai institusi yang terbuka, menerima segala hal, tidak ada yang keliru jika pesantren dalam salah satu kajiannya menekankan pendidikan kewirausahaan, menekankan pendidikan pertanian, menekankan pendidikan arsitektur, menekanakan pendidikan peternakan, dan sebagainya. Kata Gus Dur, dalam hal ini bukanlah pelajaran agama yang diberikan di sana, tetapi ilmu untuk menyadari pentingnya arti agama.

Di sini pesantren harus membangun kerangka yang ideal. Tidak bisa dipungkiri juga, sekarang sudah ada beberapa pesantren mencoba merubah dirinya, siap memberikan terobosan-terobosan untukmenjawabcita-cita santri dan masyarakat. Dengan ini, makna “kemanunggalan/kepaduan” akan menjadi utuh dan produktif, tanpa tabir yang menghalangi santri dan pesantren berkembang.

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim Quote, IMNU, PonPes Sang Pencerah Muslim

Selasa, 19 Desember 2017

Sejak Belia Gus Dur Bergaul dengan Kelompok Berbeda

Jombang, Sang Pencerah Muslim. Adik kandung KH Abdurrahman Wahiid (Gus Dur), KH Salahuddin Wahid menjelaskan tentang kondisi lingkungan yang membuat kakanya menjadi sosok yang berani dan egaliter. Menurut dia, hal ini tak lepas dari cara mendidik orang tua mereka.

"Kami waktu kecil disekolahkan di sekolah yang muridnya kebanyakan beragama Kristen. Makanya kami sekeluarga selalu menghargai perbedaan," ujar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang akrab disapa Gus Sholah ini.

Sejak Belia Gus Dur Bergaul dengan Kelompok Berbeda (Sumber Gambar : Nu Online)
Sejak Belia Gus Dur Bergaul dengan Kelompok Berbeda (Sumber Gambar : Nu Online)

Sejak Belia Gus Dur Bergaul dengan Kelompok Berbeda

Gus Sholah menyampaikan hal itu dalam acara bedah buku  “Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita” karya Menteri Negara Riset dan Teknologi era Gus Dur, AS Hikam, Kamis (26/12). Selain penulis buku, hadir pula sebagai narasumber Pendeta Simon Filantropa Bingki Irawan.

Sang Pencerah Muslim

Bingki Irawan dalam forum itu lebih banyak menceritakan pengalamannya selama dekat dengan Gus Dur. Yakni, ketika dirinya diajak berjunjung ke Tiongkok. Hanya saja waktu itu Bingki dimarahi oleh Gus Dur karena keluar dari acara tanpa pamit.

Ia juga menceritakan pengalamannya ditangkap oleh Kodam V Brawijaya lantaran menggelar atraksi barongsai. Gus Dur mengecam aksi penangkapan tersebut dan membela warga Tionghoa. "Saat itu zaman orde baru, menggelar kesenian China masih tabu. Bahkan saya dianggap PKI," kenang Bingki.

Sang Pencerah Muslim

Sementara itu AS Hikam mengupas tentang bukunya. Buku itu menurut As Hikam mengupas seluruh sosok Gus Dur. Adapula wawancara imajiner dengan mantan Ketua Umum PBNU itu. "Buku ini sangat ringan dan bisa dibaca oleh semua kalangan," pungkas Hikam.

Acara yang diselenggarakan di Klenteng Hok Liong Kiong Jombang ini juga menampilkan sejumlah kesenian tradisional, di antaranya tari remo dari Jombang, pembacaan puisi, atraksi bambu gila dari Ambon, serta vokal grup dari gereja.

"Acara ini untuk mendandai  empat tahun meninggalnya Gus Dur. Sekaligus untuk menggali pemikiran beliau," ujar Aan Anshori, salah satu panitia. (Syaifullah/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim PonPes Sang Pencerah Muslim

Minggu, 17 Desember 2017

Tahun Ini, Habib Luthfi Peringati Maulid Nabi Muhammad Hingga 101 Kali

Pekalongan,Sang Pencerah Muslim

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang selalu diperingati umat Islam biasanya dilaksanakan di sekitar bulan Rabiul Awal dan Rabiul  Akhir. Jarang sekali kita temui selain di dua bulan itu. Akan tetapi tidak demikian yang dilakukan Rais ‘Aam Idaroh Aliyah Jamiyyah Ahlit Thariqah Al Mutabarah An Nahdliyyah (JATMAN) Habib Luthfy bin Yahya yang tinggal di Kota Pekalongan.

Tahun Ini, Habib Luthfi Peringati Maulid Nabi Muhammad Hingga 101 Kali (Sumber Gambar : Nu Online)
Tahun Ini, Habib Luthfi Peringati Maulid Nabi Muhammad Hingga 101 Kali (Sumber Gambar : Nu Online)

Tahun Ini, Habib Luthfi Peringati Maulid Nabi Muhammad Hingga 101 Kali

Meski saat ini telah berada di bulan keenam tahun Hijriyah yakni bulan Jumadil Akhir 1437 H, gaung peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW terus bergema. Paling tidak ada 101 tempat yang menyebar ke berbagai daerah hingga bulan Dzulqa’dah.

Peringatan Maulid yang dimulai sejak tanggal 8 Januari 2017 di Kanzus Sholawat Pekalongan akan berakhir tanggal 13 Agustus di depan Mapolsek Bandar Kabupaten Pekalongan. Jadwal rangkaian kegiatan peringatan maulid sebagaimana yang dirilis Pengurus Kanzus Sholawat tidak saja menyebar di berbagai wilayah di Jawa Tengah saja, akan tetapi juga ada di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten hingga luar Pulau Jawa yakni Bangka Belitung.

Sang Pencerah Muslim

Rangkaian kegiatan peringatan maulid sebagaimana yang disampaikan Habib Luthfy bin Yahya ada bentuk rasa syukur atas kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW. Meski bulan Rabiul Awwal atau Maulud sudah lewat, kita tidak boleh berhenti mensyukuri atas kelahiran baginda nabi.

Sang Pencerah Muslim

"Adalah salah jika kita beranggapan bahwa memperingati kelahiran nabi junjungan umat Islam hanya di bulan maulid, mestinya di sepanjang waktu kita selalu memperingati hari kelahiran nabi akhir zaman," ujar Habib Luthfy.

Dikatakan, peringatan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW bisa dilakukan kapan saja. Oleh karena itu, atas permintaan dari berbagai pihak, ujar Habib, dirinya menyempatkan diri hadir di gelaran peringatan Maulid Nabi dari berbagai daerah dengan waktu yang berbeda.

Dari jadwal rangkaian kegiatan maulid, ada permintaan atas nama pribadi, jama’ah atau kelompok masyarakat, organisasi kepemudaan di lingkungan NU seperti IPNU IPPNU dan GP Ansor, TNI dan Polri. Kemudian Pemerintah daerah, pondok pesantren  hingga kalangan kampus seperti UIN Walisongo dan Unnes Semarang.

Sekretaris Kanzus Sholawat Taufiqur Rohman kepada Sang Pencerah Muslim mengatakan, hingga saat ini jadwal rangkaian sudah terdaftar ada 101 tempat. Bahkan pihaknya telah melakukan revisi sebanyak 5 kali, mengingat banyaknya usulan kegiatan baru masuk dan dimasukkan agenda rangkaian kegiatan maulid dengan harapan bisa dihadiri Khodimul Maulid Habib Luthfy bin Yahya.

Menurut Habib Luthfy,  inti dari peringatan dan pembacaan Maulid Nabi SAW adalah syukur kita terhadap Allah Ta’ala karena Allah telah mengutus Nabi Muhammad SAW dan kita termasuk ke dalam umatnya.

“Peringatan dan pembacaan maulid Nabi SAW juga merupakan ungkapan rasa terima kasih kita kepadanya agar kita mencintai Rasul SAW. Kita iman dan Islam karena kita mengenal Nabi Muhammad SAW. Sehingga, oleh karena bersyukur itu diwajibkan, maka membaca maulid Nabi Saw. Itu pun menjadi wajib.” (Abdul Muiz/Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim Kyai, PonPes Sang Pencerah Muslim

Jumat, 15 Desember 2017

Harlah, IPNU-IPPNU Makassar Gelar Bincang Santai Bersama Romahurmuzy

Makassar, Sang Pencerah Muslim. Pengurus Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kota Makassar memperingati harlah ke-61 IPNU dan ke-60 IPPNU dengan mengadakan Bincang Santai ? bersama Romahurmuzy yang juga putra pendiri IPNU KH Moh Tolchah Mansoer pada Sabtu, 28/2/2015.?

Kegiatan yang bertema “Posisi Generasi Muda NU dalam Persoalan Kabangsaan Hari Ini” dilaksanakan di Jalan Cendrawasih ? Makassar. Dalam sambutannya, ketua IPNU Makassar Muh. Nur mengungkapkan apresiasi tinggi kepada Romy yang menyempatkan bersilaturahim dengan rekan-rekanita IPNU-IPPNU kota Makassar di tengah kesibukannya.?

Harlah, IPNU-IPPNU Makassar Gelar Bincang Santai Bersama Romahurmuzy (Sumber Gambar : Nu Online)
Harlah, IPNU-IPPNU Makassar Gelar Bincang Santai Bersama Romahurmuzy (Sumber Gambar : Nu Online)

Harlah, IPNU-IPPNU Makassar Gelar Bincang Santai Bersama Romahurmuzy

“Sebagai senior kami di IPNU yang telah berkecimpung di level nasional, kami mengharap nasehat dan arahan Gus Romy untuk memajukan organisasi ke depan,” katanya.?

Sang Pencerah Muslim

Romahurmuziy atau yang akrab disapa Gus Romy mengatakan, sebagai generasi muda NU, IPNU-IPPNU harus konsisten di garis perjuangan NU di tengah maraknya organisasi Islam radikal yang sudah mulai masuk di Indonesia.?

Sang Pencerah Muslim

“Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar, kaum muda NU harus berkontribusi dalam memajukan bangsa ini,” imbuh Romy.?

Pada kesempatan tersebut hadir Ketua Ikatan Alumni Pesantren Annahdlah (IAPAN) Firdaus Dahlan, Sekretaris IAPAN Badruzzaman Harisah, Ketua IPPNU Makassar Azizah, Mantan ketua IPPNU DKI Jakarta dan puluhan kader IPNU-IPPNU dan Pengurus IAPAN Makassar. red: mukafi niam

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim PonPes Sang Pencerah Muslim

Senin, 27 November 2017

Bupati Enthus Tegaskan Hari Santri adalah Momen Perjuangan Rakyat Indonesia

Tegal, Sang Pencerah Muslim. Bupati Tegal, Enthus Susmono mengemukakan, Hari Santri Nasional sebagaimana telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap peran perjuangan para kiai dan santri dalam memerdekakan republik ini. 

Ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional ini bertepatan dengan dikeluarkannya fatwa jihad oleh KH. Hasyim Asyari di tahun 1945 yang mampu membangkitkan semangat ruhul jihad, semangat cinta tanah air arek-arek Suroboyo utamanya kalangan pesantren kala itu yang berujung pada pecahnya pertempuran heroik di

Bupati Enthus Tegaskan Hari Santri adalah Momen Perjuangan Rakyat Indonesia (Sumber Gambar : Nu Online)
Bupati Enthus Tegaskan Hari Santri adalah Momen Perjuangan Rakyat Indonesia (Sumber Gambar : Nu Online)

Bupati Enthus Tegaskan Hari Santri adalah Momen Perjuangan Rakyat Indonesia

“Surabaya 10 November 1945 melawan tentara sekutu yang kemudian kita kenang sebagai Hari Pahlawan Nasional," ujar Enthus dalam sambutannya pada Apel Akbar Peringatan Hari Santri Nasional tingkat Kabupaten Tegal dilapangan Pemkab Tegal, Ahad (22/10).

Menurut Bupati yang jago jadi dalang itu, meskipun peristiwa bersejarah tersebut dicetuskan oleh Rais Akbar dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), akan tetapi semangat berjihad dan berjuang yang dikobarkannya mampu menembus sanubari seluruh elemen bangsa Indonesia. 

"Hal ini penting saya sampaikan di sini agar peringatan Hari Santri tidak memunculkan dikotomi di kalangan umat beragama dan mengusik kehidupan pluralisme Bangsa Indonesia yang berasaskan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika," ujarnya

Sang Pencerah Muslim

Dikatakannya, peringatan Hari Santri Nasional ini bukan saja perwujudan rasa syukur, penghormatan dan penghargaan kita kepada santri dan ulama yang telah ikut serta berjuang mengusir penjajah, akan tetapi juga momentum penting bagi kita Bangsa Indonesia untuk memupuk dan menumbuhkembangkan semangat rasa cinta tanah air. 

“Rasa cinta tanah air ini tidak boleh luntur, maka harus dijaga, dipelihara dan digelorakan semangatnya di berbagai kesempatan,” tegasnya.

"Bagaimana Kiai Wahab atas bimbingan Kiai Hasyim Asyari mencetuskan adagium hubbul wathan minal iman atau cinta tanah air bagian dari iman dan menggubah lagu bertajuk Syubanul Wathan ini merupakan upaya dan pesan dari para pendahulu kita untuk merawat nasionalisme," sambung Enthus.

Untuk itu, Mantan Kasatkorcab Banser itu memandang bahwa Hari Santri Nasional ini adalah momentum yang tepat untuk menggugah dan membangkitkan kesadaran kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang disatukan oleh kesatuan ideologi anak bangsa yang terdiri dari beragam suku, budaya, agama, ras dan golongan.

Sang Pencerah Muslim

Untuk itulah, melalui kesempatan Hari Santri ini, semangat "NKRI Harga Mati" harus terus kita gelorakan. Sudah tidak ada lagi waktu bagi kita memperdebatkan hal-hal yang bersifat wacana atau adanya hanya di awang-awang saja. 

Yang bangsa ini butuhkan adalah generasi santri hebat yang mau turun tangan, bukan urun angan. Saatnya kita bekerja nyata dengan terus mencari persamaan, bukan mempertajam perbedaan, saling memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, bukan saling melemahkan.

"Semoga dengan peringatan Hari Santri Nasional ini Bangsa Indonesia menjadi semakin damai, berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan demi terwujudnya Bangsa Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur," pungkasnya.

Hadir dalam kesempatan itu, anggota Forkompimda Tegal, Sekda Tegal, jajaran Syuriyah dan Tanfidziah PCNU, Badan Otonom NU, para kepala OPD Pemkab Tegal dan ribuan santri se Kabupaten Tegal. (Hasan/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim PonPes Sang Pencerah Muslim

Minggu, 26 November 2017

Peserta Munas Galang Dana Bantu Warga Terdampak Banjir Bandang Lombok Timur

Mataram, Sang Pencerah Muslim. Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas dan Konbes) NU 2017 dihadiri Presiden RI Joko Widodo, sejumlah menteri, Panglima TNI, Polri, serta para alim ulama se-Nusantara.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj dalam sambutannya mengatakan bahwa gelaran Munas dan Konbes tahun 2017 adalah acara luar biasa.

“Munas NU dua puluh tahun silam biasa-biasa saja. Tidak ada pejabat pemerintah yang hadir, kecuali Gubernur. Tahun 2017 ini, Munas dihadiri dan dibuka langsung oleh Presiden, ini luar biasa," kata Kiai Said pelataran Masjid Hubbul Wathan Kota Mataram, Kamis (23/11) siang.

Peserta Munas Galang Dana Bantu Warga Terdampak Banjir Bandang Lombok Timur (Sumber Gambar : Nu Online)
Peserta Munas Galang Dana Bantu Warga Terdampak Banjir Bandang Lombok Timur (Sumber Gambar : Nu Online)

Peserta Munas Galang Dana Bantu Warga Terdampak Banjir Bandang Lombok Timur





Namun, lanjut Pengasuh Pesantren Luhur Al Tsaqafah, Ciganjur, Jakarte Selatan, di Munas kali ini kita mendapat musibah banjir bandang di Lombok Timur.

Sang Pencerah Muslim

Dikatakan Kiai Said LAZISNU sudah turun memberikan bantuan kepada korban bencana.

Sang Pencerah Muslim

(Baca: NU Care-LAZISNU Salurkan Bantuan Korban Banjir Bandang Lombok Timur)

"Selanjutnya PBNU melalui LAZISNU siap kembali menerima dan menyalurkan bantuan ke Lombok Timur,” ungkapnya.

Usai mengungkapkan hal tersebut, relawan NU Care-LAZISNU NTB yang berada di lokasi Munas bergerak melakukan penggalangan donasi kepada para peserta Munas. Didorong pula oleh arahan langsung Ketua PP NU Care-LAZISNU Syamsul Huda.





“Ini sudah instruksi. Semuanya langsung bergerak,” kata Syamsul kepada para relawan.



Sementara itu Ketua PW NU Care-LAZISNU NTB Saprudin menjelaskan, NU harus hadir dan membantu masyarakat di Lombok Timur. Terlebih, katanya, masyarakat suku Sasak di Lombok Timur adalah warga muslim.

“Ya di situ kan masyarakat Sasak asli. Semuanya Islam, dan tidak sedikit juga adalah warga NU. Maka itu perlu kita bantu, karena kondisinya sangat parah. LAZISNU Pusat sudah turun langsung berikan bantuan sembako kepada masyarakat, tahap selanjutnya LAZISNU Pusat dan NTB berikan bantuan dalam Program Recovery Bencana, membangun kembali rumah warga,” jelas Saprudin.

Saprudin juga mengungkapkan penggalangan donasi yang dilakukan di acara Munas dan Konbes NU adalah pertama kali dilakukan.

“Awalnya ada kekahwatiran dari para relawan untuk menggalang dana, karena yang hadir Presiden. Ada Paspampres. Namun, alhamdulillah, berkat dukungan dari LAZISNU Pusat terutama dari Pak Syamsul yang langsung turun tangan. Akhirnya para relawan gerak semua,” ungkapnya.

Penggalangan dana, kata Saprudin, dilakukan tidak hanya kepada para peserta Munas. Relawan pun ada yang bergerak di luar area Munas.

Andiwinata, Koordinator relawan NU Care-LAZISNU NTB menyebutkan total perolehan galang dana senilai Rp16.910.000,- dimulai jam sembilan pagi sebelum pembukaan, sampai sore hari hari.

Penggalangan melibatkan 15 relawan, terdiri 10 laki-laki dan 5 relawan perempuan.





“Dalam waktu singkat, terkumpul hampir tujuhbelas juta. Kami semua bangga dan sangat terkesan, semoga kami semua diistikamahkan di jalan ini dan bisa terus berkhidmat untuk NU, khususnya di NTB,” tutur Andi.

Di arena Munas beberapa tokoh turut mengkampanyekan penggalangan tersebut seperti Ketua LD PBNU KH Maman Imanulhaq dan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini.

Wakil Ketua PW LAZISNU Refreandi mengatakan hasil penggalangan dana direncanakan untuk membantu pembagunan kembali rumah-rumah warga terdampak banjir.

Seperti diberitakan sebelumnya hujan berintensitas tinggi menyebabkan dua buah embung di bagian bawah Bendungan Pandandure meluap. Buruknya drainase dan kerusakan ekosistem sungai memperparah keadaan menyebabkan bandang menerjang permukiman dan lahan pertanian.





Akibatnya 15 desa di 4 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur, NTB Sabtu (18/11) pukul 17.30 WITA. Sedikitnya 2 orang meninggal dunia dalam peritiswa tersebut. (Wahyu Noerhadi/Kendi Setiawan)

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim Kajian, PonPes Sang Pencerah Muslim

Jumat, 13 Oktober 2017

Kiai Said: Petani adalah Orang yang Selalu Berkomunikasi dengan Allah

Jakarta, Sang Pencerah Muslim. Ketua Umum Nahdlatul Ulama, KH Said Aqil Siroj menyatakan bahwa hanya sedikit petani yang memiliki tanah, karena kebanyakan dari mereka adalah buruh tani. “Paling banter penggarap (tanah), tapi yang paling banyak ya buruh tani,” jelas Kiai Said saat memberikan sambutan saat acara Rembug Nasional dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Pengembangan? Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) di Hotel Acasia, Jakarta, pada Jumat, (15/4).?

Ia menilai bahwa petani itu memiliki watak yang ulet, rajin, tidak putus asa, dan optimis dengan apa yang sudah ditetapkan oleh Allah. “Begitu menanam, (mereka) langsung menyerahkan segalanya kepada Allah, selalu berdoa dengan Allah, selalu komunikasi dengan Allah,” terangnya.

Kiai Said: Petani adalah Orang yang Selalu Berkomunikasi dengan Allah (Sumber Gambar : Nu Online)
Kiai Said: Petani adalah Orang yang Selalu Berkomunikasi dengan Allah (Sumber Gambar : Nu Online)

Kiai Said: Petani adalah Orang yang Selalu Berkomunikasi dengan Allah

Menurutnya, ada tiga hal yang sangat diperlukan oleh seorang petani, yaitu air, bibit, dan pupuk. Kalau seandainya ketiganya tersebut bisa diperoleh oleh petani dengan mudah, maka petani kita akan lebih sejahtera.

Kiai Said meminta petani Nahdliyin untuk bersikap jujur terkait dengan batas tanah. Baginya, banyak pihak yang mengubah batas tanah bahkan mencaplok tanah yang bukan miliknya. “Ini (pencaplokan tanah) sudah diwanti-wanti Rasulullah 14 abad yang lalu. Laknatullah alaihim,” katanya.

“Tunjukkan bahwa petani Nahdlatul Ulama adalah petani yang jujur. Tunjukkan,” lanjutnya. ? ?

Sang Pencerah Muslim

Lebih lanjut, Kiai Said mengutip apa yang disampaikan KH Maimoen Zubair bahwa Islam Nusantara itu diumpakan sebagai padi. Karena padi memiliki banyak bulir dan dari bulir tersebut terdapat butir-butir padi. ?

LPPNU, imbuh Kiai Said, adalah lembaga yang sangat penting karena bersinggungan langsung dengan petani yang mayoritasnya adalah warga NU.

“Oleh karena itu saya percayakan kepada pak Marwan (Ketua LPPNU dan yang juga menjabat sebagai Menteri Desa),” katanya.?

Sang Pencerah Muslim

Kiai Said berharap acara ini bisa menjadi ajang konsolidasi bagi pengurus dan ia juga berharap agar LPPNU bisa menjalin kerjasama dengan pemerintah, lembaga swasta, maupun pihak mana saja yang memiliki niat yang baik untuk meningkatkan pertanian warga Nahdliyin.?

“Asal semuanya berangkat dari niat yang baik. Dengan siapa saja (kita kerjasama), tidak usah pilih-pilih,” pungkasnya. (Muchlishon Rochmat/Zunus)

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim PonPes, Tegal Sang Pencerah Muslim

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Sang Pencerah Muslim sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Sang Pencerah Muslim. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Sang Pencerah Muslim dengan nyaman.

Jika anda tidak ingin mendisable AdBlock, silahkan klik LANJUTKAN


Nonaktifkan Adblock