Senin, 08 Januari 2018

Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren

Oleh Aswab Mahasin

Coba Anda ingat, Kapan terakhir kali Anda mencium tangan Kiai? Kapan terkahir kali Anda menginjakkan kaki di Pesantren? Dan kapan terkahir kali Anda merasa bahwa diri Anda adalah santri? Kiai, Pesantren, dan Santri adalah tiga dimensi yang tidak bisa dipisahkan. Pesantren sebagai rumah peradaban, sedangkan kiai dan santri adalah pengusung peradaban. Hal tersebutmerupakan satu kesatuan yang tunggal (kepaduan yang ideal).

Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren (Sumber Gambar : Nu Online)
Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren (Sumber Gambar : Nu Online)

Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren

“Kemanunggalan” ketiga pranata kebudayaan/agama tersebut mempunyai unsur geneologis, yakni; kiai sebelumnya adalah santri, dan santri ialah orang yang tinggal dan menetap di pesantren. Begitupun kiai, mempunyai santri dan pesantren, dan samahalnya dengan santri, tinggal di pesantren dan diasuh oleh Kiai.

Namun, dalam realitasnya ada kiai tanpa pesantren, disebut “kiai langgar atau kiai masjid” dan ada santri yang tidak mesantren, disebut “santri kalong”. Apakah proses “kemanunggalan” itu masih terjadi? Jawabannya, masih—karena yang diajarkan oleh kiai langgar/masjid adalah pengajaran yang diajarkan di pesantren, tidak ada keterpisahan dari mulai model mengajar, bahan ajar, dan tradisi komunikasi. 

Jika diperluas lagi, maksud dari “kemanunggalan kiai, santri, dan pesantren” adalah seseorang yang selalu memegang prinsip kemandirian, kemanusiaan, kebersamaan, kesatuan, etos kerja, nasionalisme, dan keIslaman. Dengan itu, adanya kesatuan yang menginternal kedalam dirinya, ia mengikuti nasihat kiai dan ia berprilaku seperti santri. Nilai-nilai itulah yang selalu diajarkan oleh kiai, selalu diterima oleh santri, dan selalu hadir dalam lingkungan pesantren.

Sang Pencerah Muslim

Sekarang coba kita lihat bagaimana para ahli menguraikan makna dari kiai, santri, dan pesantren, Secara etimologis, menurut Ahmad Adaby Darban “kiai” berasal dari bahasa jawa kuno “kiya-kiya”, artinya orang yang dihormati. Sedangkan, Menurut Manfred Ziemek,kiai adalah pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagai “muslim terpelajar” telah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Dalam pemikiran masyarakat, kiai diidentikan dengan ulama sebagai pewaris para Nabi (al-‘ulama waratsah al-anbiya). (Moch. Eksan, Kiai Kelana: Biografi Kiai Muchit Muzadi, 2000.Hlm. 2-4)

Santri menurut Nurcholis Madjid ada dua pengertian, pertama, berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu “sastri” berarti orang yang melek huruf, dan kedua, berasal dari bahasa jawa “cantrik” seorang yang mengikuti kiai dimanapun untuk menguasai suatu keahlian sendiri. Berbeda dengan KH. Sahal Mahfudh, santri dimaknai sebagai bahasa Arab, dari kata santaro yang mempunyai jamak (plural) sanaatiir (beberapa santri). Dibalik kata santri tersebut mempunyai 4 huruf arab (sin, nun, ta’, ra’), oleh KH Abdullah Dimyathy dari Pandeglang, Banten mengimplementasikan kata santri dari 4 fungsi manusia. Adapun 4 huruf tersebut, yaitu; Pertama, “Sin” yang artinya “satrul al-aurah” (menutup aurat), Kedua, “Nun” yang berarti “na’ibul ulama” (wakil dari ulama), ketiga, “Ta” yang artinya “tarku al-Ma’shi” (meninggalkan kemaksiatan), dan keempat, “Ra” yang berarti “raisul ummah” (pemimpin umat). (Buku Kumpulan Tanya Jawab dan Diskusi Keagamaan: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, PISS-KTB, 2013. Hlm. 1626-1628)

Sedangkan Pesantren, menurut pengertian dasar ialah tempat belajar para santri. Sedangkan “pondok” berasal dari bahasa arab “funduq” yang artinya asrama. Secara etimologi pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri. (Zamakhsyari Dhofir: 1982: 18)

Dari berbagai paparan tersebut, menggambarkan, kuatnya keterikatan antara Kiai, Santri, dan Pesantren.Pesantren didirikan kiai sebagai transmisi nilai-nilai keIslaman. Dalam perkembangannya,proses transmisi keIslaman di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran kemanunggalan itu.

Pesantren dan transmisi nilai keislaman Indonesia

Sang Pencerah Muslim

Menjadi penting terlebih dulu mengetahui keterikatan sejarah antara kajian Islam di Indonesia dengan ulama Timur Tengah, seperti Mekah, Madinah, dan Kairo. Martin van Bruinessen menuliskan, “Teks yang paling populer diseluruh Nusantara adalah karya yang dikenal sebagai Barzanji di tulis oleh Sayyid Ja’far Al-Barzanji. Dinamakan “barzanji” karena merujuk pada nama desa pengarangnya yang terletak di Barzanjiyah kawasan Akrad (kurdistan). Selain itu teks-teks arab yang paling banyak dijual di toko buku adalah Tanwirul al-Qulub, ditulis oleh Muhammad Amin Al-Kurdi.”

Hal tersebut menggambarkan ada proses transmisi epistimologi. Proses itu sebenarnya tidak hanya melalui produk intelektualitas, melainkan banyak juga ulama-ulama Nusantara pergi ke sana untuk menuntut ilmu, seperti ‘Abd al-Rauf Singkel menghabiskan tidak kurang dari 19 tahun waktunya di Makkah dan Madinah, ada juga Syekh Yusuf Makasar, begitupun dengan KH Muhammad Hasyim Asy’ari. 

Walaupun Indonesia memiliki kedekatakan hubungan intelektual dengan tradisi keagamaan di Arab, terutama Mekkah dan Madinah. Tidak serta-merta Islam di Indonesia lantas dianggap sebagai replika Islam Arab. Proses masuknya Islam di Indonesia sangat dinamis, unik, dan kompleks, menyesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya yang berkembang saat itu. 

Peristiwa tersebut menjadi sejarah tidak mandek, khususnya di pesantren—hingga sekarang terusmengkaji karya-karya ulama Timur Tengah, kajian yang diusung tentu tidak berafiliasi dengan kitab-kitab yang telah direduksi atau ditambahkan isinya olehkelompok tertentu, melainkan kitab-kitab yang tidak bertentangan dengan ide-ide ahlussunnah wal jamaah (Aswaja).

Dengan demikian, karakter Islam di Indonesia yang berkembang sekarang, tidak lepas dari matriks kiai, santri dan pesantren, sebagai penerjemah dan wadah wacana keIslaman. Proses transmisi keIslaman ini berlangsung di pesantren yang tampil dengan model paradigma pengajaran yang unik. Melalui kajian kitab kuning, didukung dengan model penulisan “arab jawa pegon” sebagai sarana untuk memahami teks-teks kitab kuning yang berbahasa Arab. Hal ini tidak ditemukan dalam tradisi Islam di Timur Tengah. Tradisi keIslaman di Indonesia berkembang melalui karakternya sendiri dengan tidak meninggalkan identitas Islam yang terlahir dengan “huruf Arab”.

Selain itu, disemua pesantren yang berbasis klasik ataupun modern, selalu ada pengajaran Nahwu dan Shorof (untuk memahami teks Arab). Dan pesantren menganggap belajar kaidah-kadaiah bahasa Arab tersebut sebagai alat untuk memahami teks-teks Arab, dengan tujuan agar para santri mampu mempelajari wacana keIslaman yang begitu luas.

Seiring dengan proses transformasi dan modernisasi di pesantren, dari mulai masa kolonial, sampai terlahirnya Madrasah Diniah, dan kemudian masuk dalam dunia global. Pada gilirannya pesantren tetap menjadi standar wajah keIslaman Indonesia, karena pesantren turut membentuk tradisi kajian Islam di Indonesia secara keseluruhan.

 

Pembentukan tersebut oleh pesantren melalui jalur pendidikan, yang terus menerus dilakukan pesantren, dari dulu sebelum nama Indonesia ada sampai sekarang. Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a: Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial berkomentar, “pendidikan pesantren adalah pendidikan seumur hidup, seumur dengan kehidupan tradisi keagamaan Aswaja dan juga sepanjang usia kehidupan nusa-bangsa ini. 

Oleh karena itu, orientasinya adalah untuk menjaga keselamatan dan kesinambungan kehidupan berbangsa itu sendiri. Dengan kata lain, seberapa panjang usia kehidupan kebagsaan ini, demikian pula usia tradisi keulamaan Aswaja. Dan pendidikan pesantren adalah bentangan garis lurus yang menjangkau dan menghubungkan kedua sisi kehidupan tersebut hingga penghujung akhir hayatnya.”

Cuplikan dari Ahmad Baso tersebut menjelaskan bahwa kemanungggalan hakikatnya tidak hanya ada pada kiai, santri, dan pesantren saja, melainkan bangsa ini sudah menjadi satu kesatuan (termanunggalkan) bersama pendidikan pesantren dan tradisi pesantren itu sendiri.

Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari pesantren, dari masa ke masa dan dari presiden pertama sampai presiden sekarang, pesantren selalu mengiringi sejarah Indonesia. Entah itu dikebiri pada saat zaman Orba, di mana para kiai hanya mendapatkan jatah doa, dan pada masa Gus Dur, seorang kiai menjadi presiden, dan di era sekarang, pesantren, kiai dan santri menjadi “rebutan” aktivitas politik praktis, dengan tujuan mendapatkan legitimasi dukungan seorang kiai.

Pesantren dan kemanunggalan produktif

Beranjak dari itu semua, (saya akan meloncat ke dalam kajian yang lebih kompleks dan nyata)setelah tadi kita berlama-lamaan memetakan pesantren dan membincangkan pesantren sebagai transmisi nilai-nilai keIslaman Indonesia, sesunggugnya belum lengkap jika kita tidak mengkaji objek dari nilai keIsalaman itu sendiri, yaitu realitas yang menanti di depan mata para santi.

Dengan demikian, yang wajib kita kaji sekarang ini, poinnya adalah kemanunggalan terkesan belum sempurna pada pendidikan pesantren—di mana tidak sedikit pesantren menutup diri dari masyarakat dan menutup diri dari realitas kehidupan. Pesantren menurut Gus Dur awalnya bukan hanya lembaga pendidikan agama semata, tapi lembaga pendidikan yang bercakrawala dari berbagai penjuru pengetahuan, teoritis maupun praksis. Kesan sekarang adalah pesantren seakan-akan difungsikan sebagai pabrik “ulama”. Padahal pesantren spektrumnya lebih dari itu. Jika demikian, akan terjadi penyempitan dari fungsi pesantren itu sendiri. 

Menurut Gus Dur, terjadi penyempitan kriterium dengan sendirinya bergerak menuju lapangan bagi orang yang akan dikirim ke pesantren yaitu orang-orang yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Dengan mempertahankan kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan di mana tingkat droup-out cukup besar. (Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, 1999. hlm. 111-116). Kemanunggalan ini oleh lembaga pendidikan pesantren seharusnya dibarengi juga dengan produktifitas santri. 

Menurut Gus Dur dalam tulisannya yang bertajuk Pesantren, Penddikan Elitis atau Populis?, menuliskan, “Pesantren dulu sebagai pembanding dari sekolah keraton yang hanya menampung golongan elitis saja, sekarang nampaknya pesantren telah berubah, ketika berbicara pesantren kesan yang muncul adalah sebagai lembaga keagamaan. Dulunya, pesantren menampung semua lapisan masyarakat (kemanunggalan dengan semua orang) yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan keraton. Karena itu dimasa awalnya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama. Dalam perkembangannya, akhir-akhir ini tampak kecenderungan untuk menciptkan pesantren sebagai lembaga pencetakan para ulama.” (Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, 1999. Hlm. 111-116)

Saya sepakat, bukannya hal yang buruk, dalam pesantren membuat spesialisasi yang tidak hanya fokus pada bidang keagamaan. Fakta dilapangan harus kita akui, tidak semua santri ahli dalam ilmu agama, tidak semua santri jadi pendakwah, dan tidak semua santri jadi ulama. Kalau saja pesantren hanya menutut santrinya memiliki kecerdasan dan kepintaran dalam pengetahuan keagamaan, tidak ada bedanya pesantren dengan pendidikan umum lainnya, hanya mengedepankan sisi kognitif belaka, bedanya hanya dalam ranah kajian keagamaan semata.

Menurut Gus Dur, “sudah hebat sekali dari total 10.000 santri jika lulusannya 50% ahli agama.” Dalam realitasnya itu susah dilakukan, kalau kita lihat lebih jauh lagi alumni pesantren, tidak sedikit mereka yang kebingungan setelah keluar dari pesantren, tidak sedikit yang berprofesi serabutan, tidak sedikit yang berprofesi sebagai tukang ojek, dan sejenisnya. Kalaupun diantara alumni pesantrentersebut ada yang sukses menjadi pengusaha, pejabat, atau pun pemikir, jumlahnya lebih sedikit dari yang biasa-biasa saja itu. 

“Kemangunggalan” pesantren seharusnya dimaknai sebagai institusi yang terbuka, menerima segala hal, tidak ada yang keliru jika pesantren dalam salah satu kajiannya menekankan pendidikan kewirausahaan, menekankan pendidikan pertanian, menekankan pendidikan arsitektur, menekanakan pendidikan peternakan, dan sebagainya. Kata Gus Dur, dalam hal ini bukanlah pelajaran agama yang diberikan di sana, tetapi ilmu untuk menyadari pentingnya arti agama.

Di sini pesantren harus membangun kerangka yang ideal. Tidak bisa dipungkiri juga, sekarang sudah ada beberapa pesantren mencoba merubah dirinya, siap memberikan terobosan-terobosan untukmenjawabcita-cita santri dan masyarakat. Dengan ini, makna “kemanunggalan/kepaduan” akan menjadi utuh dan produktif, tanpa tabir yang menghalangi santri dan pesantren berkembang.

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim Quote, IMNU, PonPes Sang Pencerah Muslim

Sang Pencerah Muslim Indonesia Muhammadiyah Sang Pencerah Islam. Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren di Sang Pencerah Muslim ini merupakan bukan asli tulisan admin, oleh karena itu cek link sumber.

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Sang Pencerah Muslim sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Sang Pencerah Muslim. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Sang Pencerah Muslim dengan nyaman.

Jika anda tidak ingin mendisable AdBlock, silahkan klik LANJUTKAN


Nonaktifkan Adblock