Kamis, 12 Januari 2017

Membaca Kepentingan NU di Balik Polemik Perppu dan Permendibud

Oleh Amin Mudzakkir

Belakangan ini politik Indonesia diramaikan oleh kontroversi Perppu Nomor 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan. Beberapa kalangan menolaknya karena dianggap mengancam kebebasan, namun beberapa kalangan lainnya mendukung total. Di antara organisasi masyarakat sipil yang paling lantang menyuarakan dukungannya adalah Nahdlatul Ulama (NU).

Membaca Kepentingan NU di Balik Polemik Perppu dan Permendibud (Sumber Gambar : Nu Online)
Membaca Kepentingan NU di Balik Polemik Perppu dan Permendibud (Sumber Gambar : Nu Online)

Membaca Kepentingan NU di Balik Polemik Perppu dan Permendibud

Bagi NU, Perppu tersebut penting diterbitkan mengingat urgensinya. Intoleransi keagamaan sudah sangat mengkhawatirkan dan negara selama ini justru terlihat membiarkan. NU melihat negara membutuhkan justifikasi baru agar lebih tegas menggunakan kewenangannya.

Sang Pencerah Muslim

Akan tetapi, tidak lama setelah dukungan itu, NU menolak Permendikbud Nomor 23/2017 tentang hari sekolah. Aturan ini, yang pada tataran publik dikenal sebagai isu full day school, dianggap tidak perlu, apalagi jika diberlakukan secara nasional. Lebih dari itu, aturan tersebut mengancam eksistensi madrasah diniyyah yang banyak kebetulan dikelola oleh warga NU.

Bagaimana kita memahami perilaku NU tersebut? Mengapa mereka bisa mendukung satu kebijakan dan menolak kebijakan lainnya secara serentak? Apa prinsip utama politik mereka?



Bukan Pragmatisme


Sang Pencerah Muslim

Beberapa kalangan melihat perilaku NU sebagai pragmatis, bahkan oportunis. Mereka menuduh NU merupakan organisasi masyarakat Islam yang tidak mempunyai prinsip dalam politik. NU dianggap hanya ikut siapa pun yang berkuasa sejauh menguntungkan dirinya.

Penilaian terhadap NU tersebut jelas keliru. Jika melihat masalahnya secara lebih historis, kita akan segera melihat bahwa perilaku NU selalu didasarkan pada prinsip kebangsaan dan keumatan. NU tidak memisahkan keduanya, tetapi justru berusaha digandengkan dalam satu ikatan.

Prinsip kebangsaan menjadikan nasionalisme sebagai kerangka pokok. Sejalan dengan sekularisme, prinsip ini menganggap bangsa sebagai kolektivitas tertinggi dalam hierarki kenegaraan. Komunitas kultural, termasuk umat, diminta untuk mengintegrasikan diri ke dalam bangsa.

Sementara itu, prinsip keumatan menjadikan agama sebagai dasar dalam memahami realitas. Berbeda dengan sekularisme, prinsip ini percaya agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Keduanya adalah sebuah kesatuan.

Masalahnya, kedua prinsip tersebut sering berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya sejarah politik Indonesia mengenal adanya dikotomi antara kelompok nasionalis dan agama (Islam) yang? pada posisi saling berseberangan. Ini muncul, misalnya, dalam debat perumusan dasar negara pada tahun 1945.

Dikotomi tersebut mewariskan prasangka. Seolah-olah kelompok nasionalis tidak religius dan, sebaliknya, seakan-akan kelompok agama tidak nasionalis. Prangsangka ini mewarnai konflik politik Indonesia hingga akhir-akhir ini, termasuk dalam Pilkada Jakarta 2017.



Melampaui Dikotomi


Bagi NU, bangsa dan umat tidak perlu dipisahkan, meski bisa dibedakan. Keduanya membentuk prinsip kembar yang bisa dijadikan patokan negara Indonesia yang multikultural. Persis karena alasan ini NU mendukung perppu tentang ormas, sambil pada saat yang sama menolak permendikbud tentang hari sekolah.

Di tengah gejala intoleransi keagamaan yang semakin meningkat, kehadiran negara sangat dibutuhkan. Secara normatif negara bahkan mempunyai kewenangan menggunakan kekerasan untuk menyelamatkan kehidupan bersama dari kerusakan. Di negara-negara demokrasi, kewenangan tersebut diterjemahkan ke dalam suatu prosedur yang bertanggung jawab.

Berdasarkan pemahaman tersebut, pembubaran organisasi masyarakat yang mengancam keselamatan kehidupan bersama adalah sah. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir Indonesia dinilai NU adalah ancaman. Mereka tidak hanya bertujuan mendirikan khilafah? atau negara Islam, tetapi juga menimbulkan perpecahan di lapangan keagamaan. Mereka cenderung mengkafirkan kelompok Islam lainnya, termasuk NU, yang tidak sepaham. Ditinjau dari prinsip kebangsaan dan keumatan, HTI bermasalah.

Sementara itu, permendikbud tentang hari sekolah awalnya merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2017 tentang guru. Dalam kebijakan ini, guru mempunyai beban kerja 40 jam per minggu. Beban ini kemudian diterjemahkan ke dalam beban hari sekolah. Sejujurnya hal ini sangat terkait dengan aspek praktis pembangunan, yaitu pencairan anggaran.

Jadi masalahnya bukan NU versus Muhammadiyah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, yang bersalah dari Muhammadiyah hanya menjalankan peraturan pemerintah. Dia sendiri telah berulang kali menegaskan agar keputusannya dijalankan secara kontekstual. Permendikbud hari sekolah bukan untuk menghancurkan madrasah diniyyah.

Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Di daerah-daerah, karena ingin mudah, aturan menteri tersebut dipahami secara tekstual. Beberapa pemerintah lokal mengatakan tidak akan mencairkan anggaran bagi sekolah-sekolah yang tidak memenuhi peraturan tersebut.

Tentu saja NU protes. Para pengelola madrasah diniyah pada umumnya dikelola oleh warga NU terancam bubar. Anak-anak tidak bisa lagi menghadiri madrasah diniyyah karena waktunya tersita di sekolah. Padahal bagi mereka madrasah diniyyah adalah identitas yang tidak mudah dikonversi ke dalam bentuk kegiatan sekolah.

Lebih dari itu, NU menilai bahwa intoleransi keagamaan justru terjadi di sekolah-sekolah umum. Para aktivis Islam radikal, seperti HTI, telah merekrut anggotanya sejak jenjang SMA. Oleh karena itu, semakin lama anak-anak belajar di sekolah, kemungkinan mereka terpapar oleh pemahaman keagamaan yang intoleran semakin besar. Berdasarkan ini NU menganggap permendikbud tentang hari sekolah tidak bisa dibenarkan. Sekali lagi dalam kasus ini NU menggunakan prinsip kebangsaan dan keumatan secara bersamaan.

Dengan demikian sekarang jelas bahwa motivasi dan tujuan politik NU bukan mendukung atau menolak kebijakan pemerintah. Di balik dukungan atau penolakan terdapat dua prinsip pokok, yaitu prinsip kebangsaan dan keumatan. Keduanya adalah panduan normatif untuk melindungi bangsa Indonesia dan umat Islam dari kerusakan.

Penulis adalah Intelektual muda NU, peneliti pada Pusat Penelitian Sumber Daya Regional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SDR-LIPI), Jakarta. ?



Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim Nahdlatul, Pendidikan, Budaya Sang Pencerah Muslim

Sang Pencerah Muslim Indonesia Muhammadiyah Sang Pencerah Islam. Membaca Kepentingan NU di Balik Polemik Perppu dan Permendibud di Sang Pencerah Muslim ini merupakan bukan asli tulisan admin, oleh karena itu cek link sumber.

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Sang Pencerah Muslim sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Sang Pencerah Muslim. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Sang Pencerah Muslim dengan nyaman.

Jika anda tidak ingin mendisable AdBlock, silahkan klik LANJUTKAN


Nonaktifkan Adblock