Sabtu, 28 November 2015

Refleksi 72 Tahun Indonesia Merdeka

Oleh Aswab Mahasin

Saya pernah menyusun buku sejarah, Garis Besar Sejarah Indonesia. Dalam buku tersebut saya mengutip perkataan Sutan Syahrir, “Kemerdekaan nasional bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.”

Indonesia sudah merdeka lebih dari setengah abad lamanya, perjalanan bangsa ini dari dulu sampai sekarang telah mencicipi berbagai macam varian ide, dari mulai orde lama, orde baru, dan pasca reformasi. Tentu dengan kondisi sosial berbeda. Apalagi Indonesia memiliki banyak ragam dan corak narasi mengenai sejarah gagasan Indonesia; sebagaimana diingatkan Vickers, “Negera sebesar dan seberagam Negara ini tidak hanya punya satu narasi.”Namun, dalam hal ini saya tidak akan fokus pada perjalanan ribuan eksmplar data tentang Indonesia. Melainkan hanya narasi pendek untuk menyapa kemerdekaan Indonesia.?

Refleksi 72 Tahun Indonesia Merdeka (Sumber Gambar : Nu Online)
Refleksi 72 Tahun Indonesia Merdeka (Sumber Gambar : Nu Online)

Refleksi 72 Tahun Indonesia Merdeka

Setelah pasca reformasi, pintu demokrasi terbuka lebar, semua rakyat bebas untuk menyampaikan pendapat, semua rakyat bebas berekspresi, dan semua rakyat bebas bertindak. Sayangnya, kebebasan ini dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas. Kita bisa melihat fenomena sosial sekarang,karakter kemerdekaan yang tumbuh dari bangsa kita ditandai dengan terlahirnya mental-mental amatir. Esensi kemerdekaan seakan-akan hanya lepas dari penjajahan semata, bukan sebuah aktivitas kreatif.?

Sebagai contohnya; akhir-akhir ini Indonesia dihebohkan dengan kasus mega korupsi E-KTP, di mana banyak tokoh politik nasional terlibat dalam bancakan kasus tersebut. Selain itu, perkelahian remaja, seks bebas, dan narkoba menghiasi ruang publik. Saya teringat kata bijak dari Bapak Ir. Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Kedewasaan bangsa kita dipertanyakan dengan serentetan fenomena uniknya. Di Indonesia sekarang ini susah sekali mendeteksi antara kebaikan dan keburukan, antara kebenaran dan kesesatan, antara kejujuran dan kebohongan. Anda pasti ingat bagaimana proses pemilihan Gubernur DKI yang lalu itu, semua kebenaran diputarbalikan, dan semua kesesatan diputarbalikan. Entah, kebenaran itu terletak dimana. Semua menggunakan jubah kebaikan tanpa ada yang mau disalahkan.

Sang Pencerah Muslim

Beberapa waktu lalu berita menghebohkan mengihiasi jagad Indonesia, dibakarnya seorang pemuda berusia 25 tahun karena dituduh mencuri ampli di Mushola. Tragis sekali, apakah ini yang dinamakan hukum bagi bangsa/negara yang merdeka?

Sang Pencerah Muslim

Selain itu, sorotan media, khususnya media elektronik/televisi dan media sosial, dipenuhi dengan sampah modernitas, tontonan tidak mencerdaskan, dan berita-berita hoax pemecah belah. Alam Indonesia serasa sedang dibimbing menuju pada dekadensi moral.?

“Demokrasi Indonesia” menjadi ? “Mediakrasi Indonesia”, para bandar-bandar politik itu menguasi media untuk menyetir jagad Indonesia yang agung ini. Seakan-akan kita dipaksa untuk meniru, berpola pikir, dan berprilaku seperti apa yang ditampilkan. Bergaya seperti pengamat politik kawakan, bergaya seperti artis, dan bergaya seperti Ustadz karbitan yang suka mengkafirkan. Apakah ini pelajaran “mental mulia” bagi sebuah negara/bangsa merdeka? Entahlah.

Anda tahu? Para Gubernur kita, Bupati kita, Camat kita, Lurah kita, bahkan mungkin RT kita, lebih bangga ketika putra daerahnya memenangkan atau lolos dalam kontes lomba menyanyi hore-hore di TV itu, daripada memenangkan juara olimpiade dan prestasi-prestasi ilmiah lainnya. Pak Bupati sibuk nonton bareng, Pak Camat sibuk sms dukungan, Pak Gubernur sibuk mengiklankan, dan kita hanya berjoged-joged seperti gerombolan orang alay bayaran.

Pejabat kita, pelindung kita, penegak hukum kita, dan wakil kita, selalu disibukkan dengan urusan-urusan yang tidak bermutu. KPK beradu dengan Polri, KPK bertanding dengan DPR, dan Pemerintah menjadi wasit yang tak punya semprit(an). Lantas, rakyat penghuni bangsa merdeka, harus mengadu kepada siapa?

Itulah kegaduhan Nasional, hanya seklumit tapi sudah cukup mewabah. Inikah mental bangsa merdeka? Sungguh, Indonesia tidak separah berita, Indonesia masih punya nyawa dan jiwa. Kita tengok para pegiat sastra, kita tengok para pegiat literasi, kita tengok para pegiat sosial, dan kita tengok semua aktifitas penuh manfaat, semuanya masih bergerak dari bawah untuk membangun bangsa ini—hanya saja mereka tidak terpublikasi.?

Bergerak kreatif

Bergerak kreatif adalah sebuah transfer of value (transfer nilai), dan nilai-nilai dasar kemerdekaan jelas termaktub dalam butir-butir Pancasila sebagai landasan etika bangsa. Pengertian kreatif di sini tidak sebatas memikirkan dan menghasilkan karya seni yang indah, spektrumnya lebih dari sekedar sebuah karya. Tetapi, mengaktulisasikan dimensi horizontal dan vertikal atau spiritual dan sosial (Hablum minallah dan Hablum Minannas).

Bergerak kreatif sebagai model pembangunan mental sebuah bangsa harus terus disemarakan. Apalagi dengan wajah Indonesia yang berdiri di atas pijakan kenusantaraan, di mana tidak hanya satu budaya, tidak hanya satu agama, melainkan berbagai macam suku, bangsa, dan agama hadir dalam jagat Indonesia.Ukuran “bergerak kreatif” yaitu ketika manusia Indonesia beribadah nyaman sesuai dengan agamanya, ketika kemanusiaan paham akan kebudayaan yang beradab, ketika persatuan lahir atas dasar perbedaan, ketika kebijaksanaan menjadi nyata dalam penerjemahan, dan ketika keadilan merata sesuai porsinya.?

Mungkin, kebanyakan orang berpendapat—pembangunan sosial ini terlalu utopis untuk dicapai oleh suatu bangsa atau kelompok. Tapi apakah demikian? Menurut saya tidak melulu begitu. Konsep tersebut sebenarnya merupakan kendaran manusia dalam menerjemahkan eksistensinya dan konsep tersebut juga sudah meruang dan mewaktu mengelilingi poros kehidupan kita—sesuatu hal yang sudah ada pasti bisa diaplikasikan dalam praksisnya.

Refleksi kemerdekaan Indonesia sekarang ini seharusnya ditandai dengan perubahan yang signifikan. Jangan sampai Indonesia mencetak ulang generasi gagal produk, seperti; koruptor, bandar politik, Ustadz-ustadz karbitan, dan sebagainya. Mata rantai itu harus kita putus, agar kita mampu mewariskan suplemen berkualitas pada generasi selanjutnya. Merdeka!!!

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim Bahtsul Masail, Pendidikan, RMI NU Sang Pencerah Muslim

Sang Pencerah Muslim Indonesia Muhammadiyah Sang Pencerah Islam. Refleksi 72 Tahun Indonesia Merdeka di Sang Pencerah Muslim ini merupakan bukan asli tulisan admin, oleh karena itu cek link sumber.

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Sang Pencerah Muslim sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Sang Pencerah Muslim. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Sang Pencerah Muslim dengan nyaman.

Jika anda tidak ingin mendisable AdBlock, silahkan klik LANJUTKAN


Nonaktifkan Adblock