Jakarta, Sang Pencerah Muslim. Kepiawaian Ahmad Tohari dalam menulis karya prosa sudah tak rigaukan lagi. Salah satu pembuktiannya adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk yang melambungkan dan bahkan menguatkan namanya sebagai salah satu sastrawan terkemuka.
Lalu bagaimana bila Ahamd Tohari diminta menulis puisi danmembacakannya di depan publik?
Penampilannya pada Malam Pembacaan Puisi Hari Santri; Ketika Kiai Nyai Santrri Berpuisi; Pesantren tanpa Tanda Titik, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Senin (17/10) malam, menjadi jawabannya.
Penampilan Perdana Ahmad Tohari Membaca Puisi (Sumber Gambar : Nu Online) |
Penampilan Perdana Ahmad Tohari Membaca Puisi
“Saya susah tidur untuk menulis puisi ini,” kata Tohari tentang proses kreatifnya."Ini pertama kali saya menulis puisi dan akan membacakannya, justru di usia hampir tujuh puluh tahun," lanjutnya.
Gaya Tohari yang sederhana dan tampak ndeso membuat penonton malam itu tertawa. Apalagi saat pembacaan puisi, sesekali ia menjelaskan maksud dari kata-kata atau istilah dalam puisinya. Karena puisi karangan Tohari teryata berisi semacam dialog dua tokoh, ia member jeda dan menjelaskan siapa tokoh yang sedang berbicara pada bagian tertentu dari puisinya.?
Sang Pencerah Muslim
“Mungkin puisi ini bukan puisi, lebih tepat cerita pendek yang dipadatkan,” kata Tohari.?Berikut puisi lengkap yang dibuat dan dibacakan Tohari.
Kiai Asngari dan Dulkodir
di surau yang lantainya baru dikeramik,
Sang Pencerah Muslim
dan? corongnya dibikin lirih karena diprotes tetangga,yang bilang, Tuhan tidak menyukai apa yang berlebihan,
malah ada yang membidahkan.
Kiai Asngari bersila memangku tasbih dan telepon pintar
di depannya duduk Kang Dulkodir yang lalu berkata
Kiai pernah bilang,? apa pun yang telah, sedang, dan akan terjadi
sudah tertulis di papan yang terjaga?
Tentang kapan sebutir telur semut akan? menetas
Tentang kapan sebuah gunung akan meletus
Dan? tentang apa saja?
Ya betul
Juga tentang datangnya zaman kurang waras saat ini?
Ya betul. Ini sungguh sudah tertulis di papan yang terjaga?
maka itu tetap terjadi?
meski kita telah berikhtiar untuk menjadi selalu waras :
rumusan mengenai tujuan? kemerdekaan sudah lama dipancangkan
dasar negara sudah digelar, undang-undang disusun
polisi yang tangkas?
jaksa yang berkumis
hakim yang cerdas, sudah diangkat dan digaji
oleh rakyat
DPR yang ketua dan anggotanya bisa mengahafal Pancasila
sambil nungging sekali pun
para pemimpin sering kita doakan?
semua itu ikhtiar membangun sarana untuk kehidupan waras?
tapi ternyata tatanan malah makin tidak waras
karena semua memang sudah tertulis di papan yang terjaga
bukan karena mutu ikhtiar yang rendah, tidak ikhlas
dan tidak istikamah?
mutu ikhtiar? yang rendah
tidak istikamah
tidak ikhlas
juga sudah tertulis di papan yang terjaga
Kiai, saya pusing
saya malah lega dan merasa ringan
tahu mengapa sulit mendatangkan pikiran dan perilaku waras
tahu dan sadar mengapa Yang Maha Berkehendak
tak sudi mengubah tulisan tentang nasib? kita di papan yang terjaga.
Subhanallah
(Kendi Setiawan)
?
Dari Nu Online: nu.or.id
Sang Pencerah Muslim Ahlussunnah Sang Pencerah Muslim