Rabu, 09 Agustus 2017

Resolusi Jihad, Kulminasi Kebangsaan Santri

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan istilah kebangsaan, atau dalam bahasa Arab wathaniyyah sebagai mitra dari istilah ‘tanah air’. Wathaniyyah (kebangsaan) berbeda dengan qaumiyyah (kesukuan). Kebangsaan disatukan oleh tempat yang ditinggali (tanah air), terlepas dari agama, suku, bahasa dan budaya. Sedangkan kesukuan bersifat menyekat dan memisah, sangat eksklusif dan tidak terbuka. Untuk memahami keterkaitan kebangsaan dan resolusi jihad NU lebih dalam, mari kita bicarakan!

Resolusi Jihad, Kulminasi Kebangsaan Santri (Sumber Gambar : Nu Online)
Resolusi Jihad, Kulminasi Kebangsaan Santri (Sumber Gambar : Nu Online)

Resolusi Jihad, Kulminasi Kebangsaan Santri

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia secara fikih dipandang sebagai pendirian negara baru. Sebelumnya di Muktamar Banjarmasin tahun 1935, berdasarkan hukum fikih, NU mendukung pemerintah kolonial Belanda jika terjadi agresi militer oleh Jepang. Para kiai menempatkan pemerintah Belanda, meskipun Kristen, dalam bingkai Dar al-Sulh, yaitu negara yang menjaga relasi damai dengan orang-orang Islam, yang mana Belanda memberikan kebebasan penuh terhadap umat Islam dalam menjalankan agamanya. (Benyamin Fleming, Public Religion and The Pancasila-Based State of Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis, New York: Peter Lang, 2008, hlm 113).

Setelah berdirinya Republik Indonesia (17 Agustus 1945), membela negara atau tanah air, dalam sudut pandang etis, menjadi kewajiban seluruh elemen bangsa. Sebagai salah satu elemen bangsa, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bahwa ‘membela tanah air hukumnya wajib (fardlu ‘ain)’. Fatwa itu keluar sebelum NU mengeluarkan resolusi jihad. Ini tidak sembarangan. Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945, menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah negara yang sah. Pandangan ini tidak hanya berdasarkan fikih semata, tapi juga jiwa kebangsaan yang menyala.

Hal inilah yang membedakan antara Muktamar Banjarmasin 1935 dengan fatwa Mbah Hasyim atau resolusi jihad NU. Meski keputusan Muktamar Banjarmasin mendukung Belanda, dukungan itu tidak benar-benar terealisasi secara nyata. Hampir tidak ada pergerakan lapangan maupun seruan untuk mengangkat senjata. Berbeda ketika NKRI telah berdiri sebagai negara. Mbah Hasyim memfatwakan jihad membela negara hukumnya wajib, kemudian disusul oleh pertemuan alim ulama se-Jawa-Madura yang menghasilkan resolusi jihad Nahdlatul Ulama. Disinilah cara pandang fikih bertemu dengan jiwa ketanah-airan dan kebangsaan kaum santri (kiai dan murid-muridnya).

Selain bentuk pengakuan legitimasi pemerintah yang sah, resolusi jihad juga merupakan kritik implisit NU terhadap pemerintah republik yang pasif. Sebab, pada akhir September tentara Inggris atas nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration) berhasil menduduki ibukota. Pada pertengahan Oktober, tentara Jepang merebut kembali beberapa kota di Jawa dan menyerahkannya kepada Inggris. Sebelum pertemuan ulama se-Jawa-Madura, 22 Oktober 1945, Semarang dan Bandung telah jatuh.Sasaran berikutnya adalah Surabaya.(Martin van Bruinassen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terj. Farid Wajidi,Yogyakarta: LkiS, hlm 59-60)

Sang Pencerah Muslim

NU juga mengkritik pemerintah karena menandatangani Perjanjian Linggarjati dan Renville. Orang-orang NU memilih pendekatan anti kompromistis dalam menghadapi penjajah. Bagi mereka, Republik Indonesia adalah pemerintahan yang sah, yang harus diperjuangkan dan dibela mati-matian. (Martin van Bruinessen,1999, hlm 59-60). Dengan kata lain, Resolusi jihad NU meminta pemerintah untuk mendeklarasikan perang suci, melakukan perlawanan untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sesuai dengan perintah agama dan rasa cinta tanah air yang tinggi.

Landasan teologisnya adalah (Q.S. al-Hajj [22]: 39-40), “udzina li alladzîna yuqâtalûna bi annahum dzulimû—telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dizalimi” dan “allazîna uhrijû min diyârihim bi ghair al-haq—yaitu orang-orang yang telah diusir dari tanah air mereka tanpa alasan yang benar.” 

Lafad diyâr merupakan jamak dari dâr yang artinya al-manzil al-maskûn (tempat tinggal) dan al-balad (negara). (Shawqi Daif, dkk, Mu’jam al-Wasith, Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyyah, 2004, hlm 303). Jika ditelaah, al-manzil al-maskûn bisa ditempatkan sebagai bentuk individu (per-orangan) dan al-balad sebagai komunitas dari banyak individu. Artinya, al-dâr atu al-diyâr dalam al-Qur’an bermakna kesatuan individu dalam komunitas yang bertempat tinggal sama.

Hal ini telah dicontohkan penerapannya oleh Nabi Muhammad sendiri, melalui Piagam Madinah yang mengakomodir semua kelompok individu dan komunitas dalam satu kesepakatan bersama. Kesepakatan yang memberikan mereka kedudukan dan tugas yang sama dalam menjaga negara.

Sang Pencerah Muslim

Ketika terjadi serangan, semua kelompok harus turut serta dalam menghadapi ancaman itu, baik secara ekonomi maupun militer. Apa yang terjadi pada Bani Quraidhah, Nadhir dan Qainuqa’ bukan karena mereka beragama Yahudi, tetapi karena mereka mengkhianati kesepakatan tersebut, bahkan berbuat makar. Karena itu, yang dihukum hanya tiga bani tersebut. Orang Yahudi lainnya tidak terkena imbas atas pengkhianatan tiga bani tersebut.

Atas dasar itu, jika ada kekuatan asing yang hendak menyerang Indonesia sebagai negara berdaulat, ayat al-Hajj 39-40 harus diaktifkan. Karenanya tidak berlebihan menyebutresolusi jihad sebagai kulminasi kebangsaan kaum santri, atau respon nyata kaum santri (kiai dan murid-muridnya) terhadap krisis yang akan terjadi. Respon yang lahir dari perjumpaan landasan teologis (hukum Islam)dan jiwa kebangsaan, hingga KH. Wahab Chasbullah menciptakan lagu Hubb al-Wathan (Cinta Tanah Air), yang kemudian menjadi jargon para santri, hubb al-wathan min al-îmân—cinta tanah air sebagian dari iman.”

Sangat disayangkan, resolusi jihad NU tidak mendapatkan perhatian yang layak dari para sejarahwan. Tidak dapat dipungkiri, resolusi jihad memiliki dampak besar di Jawa Timur. Pasukan non-reguler banyak dibentuk sebagai respon langsung terhadap resolusi ini. Pada 10 November 1945, dua minggu setelah pasukan Inggris tiba di Surabaya, pembrontakan massal pecah. Banyak santri dan simpatisan NU yang terlibat dalam pembrontakan itu. Salah satunya Bung Tomo, meski tidak pernah menjadi santri, Ia sering datang ke Tebuireng untuk meminta nasihat kepada Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. (Martin van Bruinassen, 1999, hlm 60). Dengan kata lain, Bung Tomo adalah santri dalam arti yang lebih luas.

Dalam suasana hari santri ini, semoga saja ingatan kita terhadap sejarah besar ini tidak hilang terbawa usia. Peringatan jangan dimaknai sekedar peringatan, harus ada kilas balik sejarah yang membuat kita belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan. Sejarah harus membuat kita melihat ke depan, bukan menengok ke belakang dan hanya mengaguminya. Yang saya maksud adalah, jangan sekedar menjadi pewaris sejarah tapi juga orang yang mewariskan sejarah, tentu saja sejarah yang baik. Agar generasi kita selanjutnya bisa menengok ke belakang, mengambil manfaat dan terinspirasi olehnya, kemudian mengantarkan mereka menjadi manusia sejarah yang berkualitas.

Selamat hari santri, semoga amal ibadah para pejuang kita diterima oleh Allah SWT. Amin.

Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Dari Nu Online: nu.or.id

Sang Pencerah Muslim Khutbah, Ahlussunnah Sang Pencerah Muslim

Sang Pencerah Muslim Indonesia Muhammadiyah Sang Pencerah Islam. Resolusi Jihad, Kulminasi Kebangsaan Santri di Sang Pencerah Muslim ini merupakan bukan asli tulisan admin, oleh karena itu cek link sumber.

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Sang Pencerah Muslim sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Sang Pencerah Muslim. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Sang Pencerah Muslim dengan nyaman.

Jika anda tidak ingin mendisable AdBlock, silahkan klik LANJUTKAN


Nonaktifkan Adblock